Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan adalah
proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga
membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana
transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana
pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak harus
mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi
kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu:
1. Afektif yang tercermin
pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur
serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis.
2. Kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya
intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi.
3. Psikomotorik yang
tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan
kompetensi kinestetis.
Pengertian karakter
menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi
pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun
berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan
berwatak”.
Menurut Tadkiroatun
Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes),
perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter
berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan
bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah
laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya
dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai
dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Pendidikan karakter
adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang
meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua
komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen
pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan
aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana,
pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu,
pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam
menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Pendidikan karakter adalah
pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan
(cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona,
tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan
pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang
anak akan menjadi cerdas emosinya.
Kecerdasan emosi ini
adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena
seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan
kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Terdapat sembilan
pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama,
karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab;
ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima,
dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya
diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan
rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Kesembilan
pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik
menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good.
Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja.
Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni
bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi mesin yang bisa membuat
orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa,
orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku
kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu
berubah menjadi kebiasaan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang
dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu
membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku
guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru
bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli
(2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan
pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi
anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang
baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga
negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah
nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan
bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks
pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai
luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina
kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak
dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal
(bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the
golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila
berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog,
beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan
ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun,
kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan
pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi,
cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar
manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli,
jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin,
visioner, adil, dan punya integritas.
Penyelenggaraan
pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter
dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau
lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan
kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas
pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan
tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya
kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai
kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala
tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu,
lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda
diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta
didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter. Para
pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan
pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada
perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya.
Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan
pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara
barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai,
dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan
pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu
dalam diri peserta didik.
Ki Hadjar Dewantara
dari Taman Siswa di Yogyakarta bulan Oktober 1949 pernah berkata bahwa
"Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya, dan
persatuan”. Sedangkan menurut Prof. Wuryadi, manusia pada dasarnya baik secara
individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu
dasar dan ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis
(genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme),
sedangkan ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan
atau perubahan yang direncanakan atau diprogram.